Kamis, 05 Februari 2015

sisingaan

Sisingaan atau Gotong Singa (sebutan lainnya Odong-odong) merupakan salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa Barat, khas Subang (di samping seni lainnya seperti Bajidoran dan Genjring Bonyok) berupa keterampilan memainkan tandu berisi boneka singa (Sunda: sisingaan, singa tiruan) berpenunggang.

Sejarah & perkembangan

Terdapat beberapa keterangan tentang asal usul Sisingaan ini, di antaranya bahwa Sisingaan memiliki hubungan dengan bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajah lewat binatang Singa kembar (Singa kembar lambang penjajah Belanda), yang pada waktu itu hanya punya sisa waktu luang dua hari dalam seminggu. Keterangan lain dikaitkan dengan semangat menampilkan jenis kesenian di Anjungan Jawa Barat sekitar tahun 70-an, ketika Bupati Subang dipegang oleh Pak Atju. Pada waktu itu RAF (Rachmatulah Ading Affandi) yang juga tengah berdinas di Subang, karena ia dikenal sebagai seniman dan budayawan dimintakan kitanya. Dalam prosesnya itu, akhirnya ditampilkanlah Gotong Singa atau Sisingaan yang dalam bentuknya masih sederhana, termasuk musik pengiringnya dan kostum penari pengusung Sisingaan. Ternyata sambutannya sangat luar biasa, sejak itu Sisingaan menjadi dikenal masyarakat. Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya, semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok.. Demikian pula dengan penataan gerak tarinya dari hari ke hari semakin ditata dan disempurnakan. Juga musik pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug, genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya sangat pesat.
Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi peluang mengisi acara di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Penyebaran Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti Sumedang, Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter, serta ditambahkan dengan bunyibunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah senapan.
Dalam rangka menumbuhkembangkan seni sisingaan khas kabupaten subang, sanggar seni ninaproduction berupaya untuk melakukan regerasi melaui pembinaan tari anak-anak usia 7 tahun sampai remaja, termasuk tari sisingaan. Nina production beralamat di Jalan Patinggi no 78 Desa buni hayu Jalancagak Subang, sampai saat ini Sanggar Nina Production telah di liput oleh trans 7 dalam acara wara wiri, Daai TV dan pada tangggal 2 Mei 2010 telah diliput oleh ANTV dalam acara anak pemberani.

Pertunjukan

Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda, Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.

Penyajian

Pola penyajian Sisingaan meliputi:
  1. Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan
  2. Kidung atau kembang gadung
  3. Sajian Ibingan di antaranya solor, gondang, ewang (kangsreng), catrik, kosong-kosong dan lain-lain
  4. Atraksi atau demo, biasanya disebut atraksi kamonesan dalam pertunjukan Sisingaan yang awalnya terinspirasi oleh atraksi Adem Ayem (genjring akrobat) dan Liong (barongsay)
  5. Penutup dengan musik keringan.

Musik pengiring

Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain: Kendang Indung (2 buah), Kulanter, Bonang (ketuk), Tarompet, Goong, Kempul, Kecrek. Karena Helaran, memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh. Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan, Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.

Pemaknaan

Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
  • Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul.
  • Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan lain-lain.
  • Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni bajidoran.
  • Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
  • Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.
sumber (http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan)

Senin, 02 Februari 2015

Kuda Renggong

Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata "renggong" di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk "ketrampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Sejarah

Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.

Bentuk kesenian

Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.
Dalam pertunjukannya, Kuda Renggong memiliki dua kategori bentuk pertunjukan, antara lain meliputi pertunjukan Kuda Renggong di desa dan pada festival.

Pertunjukan di pemukiman

Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, pangeran pakaian khas sunda dengan ciri menggunakan bendo(sejenis topi mirip blangkon, putri kerajaan penunggang perempuan di dandani layaknya putri raja ada juga pakaian yang mewakilkan budaya baru seperti peri bersayaplayaknya dongeng dari negri barat, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.
Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.
Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.

Pertunjukan festival

Pertunjukan Kuda Renggong di Festival Kuda Renggong berbeda dengan pertunjukan keliling yang biasa dilakukan di desa-desa. Pertunjukan Kuda Renggong di festival Kuda Renggong, setiap tahunnya menunjukan peningkatan, baik jumlah peserta dari berbagai desa, juga peningkatan media pertunjukannya, asesorisnya, musiknya, dll. Sebagai catatan pengamatan, pertunjukan Kuda Renggong dalam sebuah festival biasanya para peserta lengkap dengan rombongannya masing-masing yang mewakili desa atau kecamatan se-Kabupaten Sumedang dikumpulkan di area awal keberangkatan, biasanya di jalan raya depan kantor Bupati, kemudian dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia (Diparda Sumedang). Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan Kuda Renggong.
Dari beberapa pertunjukan yang ditampilkan nampak upaya kreasi masing-masing rombongan, yang paling menonjol adalah adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat), pakaian anak sunat tidak lagi hanya tokoh Wayang Gatotkaca, tetapi dilengkapi dengan anak putri yang berpakaian seperti putri Cinderella dalam dongeng-dongeng Barat. Penambahan asesoris Kuda, dengan berbagai warna dan payet-payet yang meriah keemasan, payung-payung kebesaran, tarian para pengiring yang ditata, musik pengiring yang berbeda-beda, tidak lagi Kendang Penca, tetapi Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, dll. Demikian juga dengan lagu-lagunya, selain yang biasa mereka bawakan di desanya masing-masing, sering ditambahkan dengan lagu-lagu dangdutan yang sedang popular, seperti Goyang Dombret, Pemuda Idaman, Mimpi Buruk, dll. Setelah berkeliling kembali ke titik keberangkatan.

Perkembangan

Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, trompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speaker toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet, Bass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.

Makna

Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya
  • Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;
  • Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;
  • Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;
  • Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.
sumber (
http://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_Renggong)

Kesenian Gembyung

Seni Gembyung merupakan salah satu kesenian peninggalan para wali di Cirebon. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di lingkungan pesantren. Konon seperti halnya kesenian terbang, gembyung digunakan oleh para wali yang dalam hal ini Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon. Kesenian Gembyung ini biasa dipertunjukkan pada upacara-upacara kegiatan Agama Islam seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro yang digelar di sekitar tempat ibadah.
Gembyung merupakan jenis musik ensambel yang di dominasi oleh alat musik yang disebut waditra. Meskipun demikian, di lapangan ditemukan beberapa kesenian Gembyung yang tidak menggunakan waditra tarompet.
Setelah berkembang menjadi Gembyung, tidak hanya eksis dilingkungan pesantren, karena pada gilirannya kesenian ini pun banyak dipentaskan di kalangan masyarakat untuk perayaan khitanan, perkawinan, bongkar bumi, mapag sri, dan lain-lain. Dan pada perkembangannya, kesenian ini banyak di kombinasikan dengan kesenian lain. Di beberapa daerah wilayah Cirebon, kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh seni tarling dan jaipongan. Hal ini tampak dari lagu-lagu Tarling dan Jaipongan yang sering dibawakan pada pertunjukan Gembyung. Kecuali Gembyung yang ada di daerah Argasunya, menurut catatan Abun Abu Haer, seorang pemerhati Gembyung Cirebon sampai saat ini masih dalam konteks seni yang kental dengan unsur keislamannya. Ini menunjukkan masih ada kesenian Gembyung yang berada di daerah Cirebon yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masyarakat pendukungnya. Kesenian Gembyung seperti ini dapat ditemukan di daearah Cibogo, Kopiluhur, dan Kampung Benda, Cirebon.
Alat musik kesenian Gembyung Cirebon ini adalah 4 buah kempling (kempling siji, kempling loro, kempling telu dan kempling papat), Bangker dan Kendang.

Lagu-lagu yang disajikan

  • Assalamualaikum
  • Basmalah
  • Salawat Nabi
  • Salawat Badar

Busana

Busana yang dipergunakan oleh para pemain kesenian ini adalah busana yang biasa dipakai untuk ibadah salat seperti memakai kopeah (peci), Baju Kampret atau kemeja putih, dan kain sarung.

sumber (www.wikipedia.com)

Minggu, 01 Februari 2015

Karawitan Sunda

Pengertian Karawitan Keragaman seni budaya nusantara merupakan pembentuk kebudayaan nasional. Kita ketahui bahwa salah satu bagian dari kebudayaan itu diantaranya kesenian. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bawha kesenian daerah merupakan unsur penting dalam pembentuk kesenian nasional.
apabila diteliti secara seksama tentang kesenian daerah yang ada di indonesia sangat beraneka ragam bentuk, hal ini merupakan salah satu diantaranya. Karawitan merupakan salah satu bentuk kesenian yang ada di indonesia, seperti kita kenal ada Karawitan Jawa, Karawitan Sunda, dan Karawitan Bali serta banyak lagi jenis-jenis karawitan lainnya.
Karawitan sunda mempunyai ciri tersendiri, pertumbuha, dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan orang Sunda serta aspek sosial kehidupannya. Istilah karawitan dalam Bahasa Sunda merupakan istilah baru, tetapi cepat meluas sehingga istilah karawitan dianggap sebagai istilah yang telah baku dalam kesenian Sunda.
Pengertian yang telah memasyarakat tentang karawitan adalah seni suara daerah yang berpedoman pada laras Selog dan Salendro. Banyak juga pendapat-pendapat lain tentang karawitan, seperti pendapat para ahli karawitan (Pangrawit) Sunda. Yang perlu kita ketahui bawha istilah karawitan itu berasal dari Bahasa Jawa, mengingat sekitar kurang lebih tahun 1920, istilah karawitan dipergunakan pada sebuah kursus menabuh gamelan di Keraton Surakarta.

Macam-macam Bentuk Karawitan Ada tiga macam bentuk, diantaranya :
1. Karawitan Sekar adalah jenis karawitan yang terbentuk melalui penyajian suara manusia (vokal).
2. Karawitan Sekar Gending adalah bentuk karawitan yang terbentuk melalui penyajian alat musik/instrumen atau waditra.
3. Bentuk karawitan yang disajikan melalui perpaduan antar suara manusia (vokal) dengan alat musik/instrumen atau waditra.

Karawitan Sekar Karawitan sekar terdiri atas :
  1. Sekar Tandak adalah sekar atau lagu yang terikat oleh wiletan atau birama, diantaranya :
- Lagu-lagu panambih tembang Sunda/Cianjuran.
- Lagu-lagu kawih Sunda atau lagu-lagu kepesindenan.
- Lagu-lagu pupuh sekar tandak.
  1. Sekar Irama Merdika adalah sekar atau lagu yang tidak terikat oleh wiletan atau birama, seperti :
- Lagu-lagu pupuh
- Lagu-lagu tembang Sunda/Cianjuran.
- Lagu-lagu pupuh sekar irama merdika.
Karawitan Gending
Yang termasuk jenis karawitan gending diantaranya :
  1. Lagu-lagu Degung Klasik yang instrumentalia seperti lagu : Ladrak, Pajajaran Kintel Bueuk, manintin Serang, Mayu Selas, dan lain-lain.
  2. Gending Wanda Anyar ; gending wanda anyar merupakan ciptaan komposisi gending baru yang diciptikan oleh H. Koko Koswara dan Nano, S. Gending wanda anyar biasanya memiliki tema, isi, dan tujuan.
  3. Kecapi suling (instrumentalia)
  4. Gambangan
  5. Overture
  6. Gending karatagan pada acara pembukaan pertunjukan wayang golek.
Karawitan Sekar Gending
Jenis karawitan sekar gending, diantaranya :
  1. Lagu-lagu sekar gending, seperti lagu : Gerimis kasorenankeun, Gupay Lembur, Gupay Pileleuyan, Hujan Munggaran, dan lain-lain.
  2. Lagu-lagu sempal guyon kawih Sunda, seperti lagu : Kasenian, lagu Kareta Api, Lagu Berkat Katitih Mahal, dan lain-lain.
  3. Gending Karesmen : Gending Karesmen Si Kabayan, Lutung Kasarung, Dayang Sumbi, gending Karesmen Pitaloka Citraresmi, dan lain-lain.
FUNGSI KARAWITAN
  1. Sebagai pengiring lagu atau nyanyian.
  2. Untuk mengiringi tarian terutama tari Sunda.
  3. Untuk pengisi suasana dalam suatu adegan sendra tari atau gending karesmen.
  4. Sebagai ungkapan rasa etika.
  5. Sebagai pencerminan jiwa.
  6. Sarana hiburan yang bersifat social bersifat social maupun komersial.
sumber (http://www.nizarzars.blogspot.com/)

Tembang Sunda Cianjuran

Tembang Cianjuran mangrupakeun seni vokal Sunda nu dibarengan ku waditra kacapi indung, kacapi rincik, suling, jeung rebab. Asalna mah, di tempat borojolna, Cianjur, kasenian ieu téh disebutna mamaos. Dingaranan tembang Cianjuran sotéh ti taun 1930-an, anu lajeng dikukuhkeun taun 1962 dina Musawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung.

Sajarah

Mamaos kabentuk dina mangsa pamaréntahan bupati Cianjur R.A.A. Kusumaningrat (18341864) anu sok ngarang ieu tembang di hiji wangunan nu disebut Pancaniti. Kusabab kitu, anjeunna katelah Dalem Pancaniti.
Mimitina, mamaos ditembangkeun ku lalaki, sarta kakara ilahar diteuleuman ku wanoja kira parapat abad ka-20. Ti harita, mimiti panembang wanoja pating pucunghul, kayaning Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, jeung Nyi Mas Saodah.
Mamaos téh dimekarkeun tina seni pantun, nu ciri utamanya nya éta ayana kacapi katut cara maénkeunana. Lalaguanana ogé ampir sakabéhna tina carita pantun, diantarana carita Pantun Mundinglaya Dikusumah. Tuluy, ieu seni soara téh mekar ogé migunakeun beluk (mamaca), degung, sarta tembang macapat Jawa: pupuh. Lagu-lagu mamaos nu dicokot tina seni pantun disebutna lagu pantun atawa papantunan, atau disebut ogé lagu Pajajaran, dicokot tina ngaran karaton Sunda di Bogor bihari. Lagu-lagu nu asalna tina bahan pupuh disebut tembang, nu duanana nurut kana aturan rumpaka. Ka dieunakeun, aturan nyieun rumpakana jadi leuwih bébas, bisa nyampur.
Dina mangsa pamaréntahan bupati RAA Prawiradireja II (18641910), mamaos sumebar ka wewengkon lianna, nu utamana diluluguan ku Rd. Écé Majid Natawireja (18531928). Anjeunna sering diulem ngawulang mamaos ka kabupatén-kabupatén di Priangan, di antarana ku bupati Bandung RAA Martanagara (1893—1918) jeung RAA Wiranatakusumah (19201931 & 19351942). Nalika ieu mamaos sumebar ka wewengkon séjén, lajeng ieu seni soara téh jadi katelah tembang Cianjuran. Kitu ogé nalika radio NIROM Bandung taun 1930-an nyiarkeun ieu kasenian, disebutna téh tembang Cianjuran.

Pintonan

Sabenerna istilah mamaos mah ukur nujul ka lagu-lagu nu polana pupuh (tembang), lemesna tina mamaca: seni maca buku carita wawacan ku cara ditembangkeun. Buku wawacan nu migunakeun aturan pupuh ieu aya nu dilagukeun ku téhnik rancag jeung téhnik beluk.
Lagu-lagu mamaos larasna pelog (degung), sorog (nyorog, madenda), saléndro, jeung mandalungan. Dumasar kana asal jeung watek laguna, mamaos digolongkeun kana sababaraha wanda: papantunan, jejemplangan, dedegungan, jeung rarancagan. Kiwari, aya ogé tambahan jenis kakawén jeung panambih salaku wanda nu mandiri. Lagu-lagu mamaos tina jenis tembang lolobana migunakeun pola pupuh kinanti, sinom, asmarandana, dangdanggula, jeung sababaraha pupuh lianna.

Wanda

Seni Tembang Sunda Cianjuran mibanda opat wanda utama nyaeta:
  1. Wanda Papantunan
  2. Wanda Jejemplangan
  3. Wanda Rarancagan
  4. Wanda Dedegungan
jeung wanda raehan atawa tambahan, diantarana:
  1. Wanda Panambih
  2. Wanda Kakawén (saléndro)
Lagu-lagu dina wanda papantunan
Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaléon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, jsb.,
Lagu-lagu dina wanda jejemplangan
Jemplang Pangantén, Jemplang Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, jsb.
Lagu dina wanda dedegungan
Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung, jsb.
Lagu dina wanda rarancagan
Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong, jsb. Wanda kakawén di antarana Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, jsb.
Lagu dina wanda panambih
Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Rénggong Gedé, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, jsb.
Tina awalna nu mangrupa tembang hiburan alat silaturahmi di antara para ménak, mamaos kiwari geus jadi seni hiburan komersil sakumaha kasenian umumna, dipintonkeun dina rupa-rupa acara, sarta asup ka studio rékaman.

Kamis, 29 Januari 2015

Degung

Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda.
Ada dua pengertian tentang istilah degung:
Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).

Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabuki Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.

Sejarah

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828).

Perkembangan

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (19121920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 19701980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.

Perkembangan di luar negeri

Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (USA), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

Sumber (http://id.wikipedia.org/wiki/Degung)

Kiliningan

Kliningan nya éta saperangkat gamelan surupan saléndro dibarengan ku dua juru sekar anu kawengku ti pasindén jeung wira swara, lamun dipintonkeun sacara khusus disebut kliningan.[1] Kiliningan ogé disebut siku-siku jurutilu nu sok ditakolan dina musik. Upamina dina Tanji.[2]

Etimologi

Kiliningan asalna ti ngaran salasahiji waditra nu dina mimitina dijadikeun salasahiji waditra dina kasenian ieu.[1] Wangun Kilining saperti Gender (waditra ti gamelan Jawa).[1] Sanajan waditra kilining éta teu dipaké dina pintonanna, ngaran kasenianéta angger disebut seni Kiliningan, sanajan teu aya waditra kilining.[1]
Seni Kiliningan kaasup kana ragem karawitan sekar-gending.[1] Ku kituna juru kawih, atawa disebut ogé Pasindén, kacida boga peran nu sentral pisan dina seni Kiliningan.[1] Pikeun generasi anu sepuh anu kungsi ngalaman mangsa kadigjayaan Kiliningan ti taun 60-an, masing-masing bakal ngabogaan Sindén favorit antara dua pasindén, nya éta Upit Sarimanah jeung Titim Patimah.[1] Seni Kiliningan masih boga peran dina kahirupan kasenian tradisi di Jawa Kulon. Sanajan geus rada jarang anu khusus mintonkeun seni Kiliningan, namung materi kasenian ieu bakal tampil dina pagelaran seni Wayang Golék dina wangun Kiliningan.[3]

Materi Pagelaran Kiliningan

Materi seni Kiliningan kawengku ku dua unsur nu ngahiji, nya éta juru sekar jeung juru gending.[1] Nu kaasup ka juru sekar nya éta: Sindén, sedengkeun nu kaasup juru gending nya éta: nayaga jeung pangrawit.[1] Juru sekar dina kiliningan dibagi deui jadi dua, nya éta awéwé jeung lalaki. Juru sekar awéwé disebut pasindén, sedengkeun juru sekar lalaki disebut wira swara. Sakurang-kurangna dina hiji pagelaran kiliningan kudu aya hiji sindén jeung hiji wira swara.[1] Pancén juru sekar nya éta salaku nu ngawih.[1] Dina raraga ngawihkeun lagu-lagu unggal juru sekar kudu nuturkeun aturan gending (musik nu mirigna) anu geus baku dipirig ku nayaga.[1] Aya ogé musik pamirigna dingaranan gamelan.[1] Gamelan dina seni Kiliningan biasana laras saléndro.[1] Waditrana dua Saron, Peking, Demung, Bonang, Rincik, Kenong, Goong jeung Kempul, Ketuk kempyang, Gambang, hiji set Kendang, sarta Rebab.[1] Unggal waditra dipaénkeun ku hiji nayaga atawa disebut ogé pangrawit nu biasana lalaki.[1] Pangrawit dina Kiliningan dipingpin ku saurang anu sakapeung ogé ngarangkep jadi nayaga ogé. Pangaturna disebut Lurah Sekar.[1]Materi anu disajikeun dina Kiliningan utamana nya éta lagu-lagu khas Kiliningan, dina umumna ogé wangunna sekar tandak anu dibawakeun ku juru sindén jeung wira swara.[1] Lagu-laguna mangrupa gabungan ti lagu-lagu tradisi gubahan anyar, atawa lagu-lagu anu masih dipikanyaho ku nu nyiptakeunna, saperti Es Lilin jieunan Bu Mursih, Sakadang Kuya jeung Torotot Heong jieunan RTA Sunarya jrrd